Friday, May 13, 2005
Sepotong Pagi
Sepotong Pagi


Sekali weker Wirda berbunyi, cukup keras kali ini. Susah payah Wirda membuka mata mencari-cari weker yang memotong tidur lelapnya malam ini.
Ah, baru jam 4 pagi. Wirda memandang Andi, putranya yang masih terlelap. Duh, dia ingat semalam dia baru bisa memejamkan mata saat petugas siskamling memukul tiang listrik di depan rumahnya dua kali. Badan Andi cukup panas, dan Andi rewel sekali. Wirda berencana membawanya ke puskesmas nanti.
Perlahan, Wirda bangkit, kepalanya terasa berputar-putar seperti gasing. Anemia, Wirda tahu itu. Kemarin teman kantornya memberi tahu.
Tanpa menuruti pusingnya, Wirda berwudhu. Segar sekali. Subuh belum lagi sampai, mungkin dua rakaat sholat malam yang biasa dikerjakannya bisa menjadi penyembuh.
Wirda harus berangkat pagi, shift pagi dimulai hari ini. Sang Khalik menanti pengaduan Wirda di pagi buta itu. Berat rasanya melihat Andi yang sakit, tapi tetap Wirda harus berangkat. Pulang kerja nanti, Wirda akan ke puskesmas
“ Aa’, hampir subuh. Bangun..” Wirda membangunkan suaminya yang tertidur di ruang depan.
“ Mmm…. I..ya…” suami Wirda menggugam dengan sebelah mata. Wirda membiasakan suami tercintanya untuk pergi berjamaah subuh sejak mereka menikah dan masih menumpang pada orang tuanya. Wirda ingin Ayah Andi bergaul dengan tetangganya di waktu subuh itu, karena hanya pada saat itulah sang Ayah bisa meluangkan waktunya.
“ Nda, Andi masih panas badannya?” Tanya suaminya sambil melawati kamar mereka.
“ Sudah mendingan, panasnya sudah turun, tapi nanti tetap Nda bawa ke puskesmas” jawab Wirda sambil membetulkan mukenanya.
“Aku sholat dulu, ntar ngomong lagi ya. Jangan berangkat dulu sebelum aku balik dari masjid,” instruksi suaminya sambil berlalu ke kamar mandi , yang diiya-kan dengan anggukan kepala oleh Wirda.
Kegiatan Wirda di subuh itu sudah pasti. Setelah sholat, Wirda harus segara menyiapkan gorengan yang akan dijualnya di kantor nanti, sembari mencuci baju dan menyiapkan sarapan. Tapi, karena Andi sakit, Wirda memutuskan untuk tidak membawa jualan dulu hari ini. Dia lebih memilih membuatkan bubur buat anak semata wayangnya itu dan berangkat tepat pukul 6:15 agar bisa sampai di kantor jam 7 pagi.
“Nda, kamu gak usah ke kantor dulu ya?” pinta suaminya sepulang dari mesjid, ditingkahi suara air yang mendidih di panci.
“Kenapa?” Tanya Wirda sambil memasukkan beras kedalam panci. Heran, cepat juga suaminya kembali.
“Aku ada tugas dadakan ke Cibitung hari ini, tadi malem Pak Iqbal SMS. Jadi aku gak bisa nemenin Andi,” jelas suami Wirda sambil membantu merapikan meja makan.
Wirda diam. Kalau tugas ke Cibitung, artinya suaminya akan berangkat lebih pagi dan pulang lebih malam atau bahkan tidak pulang sama sekali. Tugas suaminya sebagai teknisi alat berat pabrik, memaksa Wirda menerima suaminya jarang di rumah. Dan hari ini, lagi suaminya dipanggil untuk ke Cibitung, cukup jauh dari rumah mereka dan suaminya harus lebih cepat berangkat mengejar bis karyawan.
“Nda..” tegur suaminya melihat Wirda diam saja.
“Minggu lalu aku sudah tidak masuk satu hari, masa’ minggu ini juga?!” protes Wirda pelan. Rasanya lebih banyak dirinya yang berkorban meninggalkan pekerjaan.
“Nda, anak kita kan sakit, jangan dititipin lagi, bawa ke Puskesmas. Kamu jaga Andi sehari ini saja. Besok gantian, aku sudah bilang ke Pak Iqbal supaya aku besok tidak ditugaskan keluar. Kamu izin dulu sama Bu Artika. Aa’ yakin dia pasti mengerti,” mohon suaminya sambil memandang wajah Wirda yang tertunduk memegang centong kayu.
“A’ Nda bukannya gak mau, tapi nggak enak sama Bu Artika, dia sudah baik banget. Rasanya kok aku jadi memanfaatkan kebaikannya. Lagi pula, apa kata teman-teman lain ? Tugasku banyak digantikan sama mereka,” Wirda memainkan centong kayunya.
Hhh…suami Wirda menarik napas panjang, diam.
Wirda juga, diam.
“Telpon Bu Artika berapa?” Tanya suaminya memecah diam.
“Buat apa?” Wirda heran.
“Aa’ yang telpon dia, biar Aa’ yang minta ijin. Kasihan Andi. Aa’ gak bisa ninggalin kerjaan Nda. Di kantor sudah mulai ada rencana pengurangan, Aa’ gak mau Aa’ kena…”
“A’ ! Kok, jadi aku terus yang harus tidak masuk, ijin dan lainnya untuk setiap urusan Andi?” Wirda protes dengan rencana suaminya.
“Nda, Aa’ gak bisa hari ini,” jelas suaminya yang kentara sekali menahan emosi.
“Nda juga gak bisa, rencanaku nanti siang aku sudah bisa pulang. Nanti langsung Andi aku bawa ke puskesmas. Jadi aku pergi kerja dulu, Aa’ jaga Andi dan nanti Aa’ bisa pergi setelah Bude datang.” Wirda tetap menolak.
“Kalau bisa, Aa’ juga mau. Tapi, ini kan tugas Nda. Kamu tahu, kan Pak Iqbal kalau nyuruh cukup sekali. Kalau tidak mau, dia bisa cari alasan buat memecat aku!” suaranya mulai meninggi.
“Aku juga, Aa’ ! Bu Artika walaupun dia baik, juga sama. Dia bisa pecat orang yang kerjanya gak becus, malas-malasan, sering bolos, sering nggak masuk….”
“Tapi Andi sakit, Nda!” suaminya memotong tegas. Wajahnya mengeras menatap Wirda.
Wirda terdiam. Suara bubur yang mulai bergejolak di panci mengingatkan Wirda. Segera Wirda ke panci dan mengaduk-aduk buburnya. Wirda tidak mau tidak masuk hari ini. Rasanya hampir tiap minggu ada saja satu hari Wirda tidak bisa masuk. Alasannya bisa macam-macam. Usia Andi yang menjelang tiga tahun mulai menuntut lebih banyak lagi perhatiannya. Andi panas, Andi rewel, Andi diare, Andi jatuh dan banyak lagi. Wirda merasa suaminya jarang sekali mau menggantikan tugasnya. Segala urusan Andi adalah urusannya. Segala urusan rumah tangga adalah tugasnya, dan segalanya tentang rumah adalah tanggung jawabnya. Ugh, Wirda kesal sendiri. Sekarang harusnya giliran suaminya menjaga Andi sebelum Bude –pengasuh Andi- datang jam 9 nanti. Toh, dia dan suami juga sama-sama mencari uang, sama-sama capek, sama-sama punya urusan sendiri, jadi rasanya tidak adil sekali jika suaminya tidak ikut andil untuk anak mereka. Tidak, Wirda sudah memutuskan. Wirda harus masuk kerja hari ini.
Merasa Wirda tidak menanggapi, suami Wirda langsung masuk ke kamar dan mengganti baju. Dia akan tetap berangkat. Wirda di rumah, menjaga anaknya. Wirda tidak boleh pergi kerja hari ini. Itu tugas Wirda. Selama Andi tidak sehat, Wirda yang harus menjaga. Suaminya sudah memutuskan, dia harus masuk kerja hari ini, apapun kata istrinya. Dia tidak ingin dipecat, hanya karena menolak tugas dadakan! Dan lagi, dia tidak pernah merasa memaksa Wirda untuk bekerja. Wirda yang memutuskan itu sendiri. Tanpa kompromi, hanya sebuah percakapan di malam hari yang dia anggap tidak penting karena keinginan Wirda untuk bekerja kembali setelah melahirkan. Wirda sudah berjanji tidak akan menelantarkan urusan rumah tangga. Dia hanya diam saat itu, walaupun tidak sepenuhnya menerima, tapi dia juga tidak bisa sepenuhnya menolak. Gajinya memang tidak terlalu besar untuk hidup layak, tapi juga tidak terlalu kecil untuk hidup cukup! Jadi, sekarang tugas Wirda, dia yang harus di rumah!
“Nda, aku kerja ya !” ijin suaminya di pintu dapur.
“Jadi, Aa’ tetap berangkat?!” Wirda menatap tajam.
“Iya,!” jawab suaminya pendek.
“Nda juga. Nda harus ke kantor hari ini. Nda gak bisa di rumah. Nanti siang baru Nda bisa pulang,” Wirda tetap keras.
“Terserah kamu, Andi sakit. Dan dia butuh ke dokter, “ suaminya memasang sepatu.
“Kalau kamu ada uang, aku bisa membawa Andi ke klinik 24jam semalam. Nyatanya kamu gak ada, jadi Andi harus dibawa ke puskesmas. Aa’ nggak bisa menyuruh Nda di rumah. Mestinya Aa’ yang dirumah,”
“Nda ! Aa’ nggak mau berantem pagi-pagi sama kamu ! Andi harus ada yang jaga. Besok aku baru bisa jaga Andi. Kamu dirumah hari ini, besok Andi aku bawa ke kantor,”
“Nggak bisa!” Wirda makin keras.
“Wirda! Aku minta supaya kamu di rumah. Ingat, itu tugas kamu! “ suami Wirda juga mengeras.
Wirda menahan amarah. Dadanya turun naik, rasanya ada air mata yang jatuh ke pipinya. Sekali lagi, suaminya menunjukkannya ke-ego-annya. Dan sekali lagi, Wirda harus bisa mengalah.
Ditengah keributan yang hampir pecah itu, langkah kecil terdengar menuju dapur. “Umi, Abi..” panggil Andi pelan. Tangannya memegang handuk kompres.
Wirda menyeka air matanya. Suami Wirda mengusap mukanya ber-istighfar, diraihnya Andi dalam gendongannya.
“Anak Abi sudah bangun, ya?” suara suami Wirda ramah sambil mencium pipi putranya.
“ Abi, mau kerja ya?” Tanya Andi sambil mengangsurkan handuk kecilnya ke arah Wirda. Wirda melangkah mendekat, memegang kening Andi. Sudah lebih baik, Alhamdulillah.
“Umi, aku mau makan bubur. Nanti makannya bareng sama Abi,” kata Andi sambil menunjuk bubur di panci.
“Boleh, tapi Abi mau kerja. Makannya sama Umi ya?” jawab Wirda. Mereka berdua memang telah sepakat untuk tidak menunjukkan amarah di depan putranya itu.
“Nggak mau, maunya sama Abi, nanti Umi temenin Ndi ke doktel. Nih, badan Andi udah ngga panas lagi, tapi Ndi lemes ,Mi. Ndi capek! Ndi nggak mau sama Bude. Ndi maunya sama Umi aja, kalau Umi kelja, nanti Umi capek juga, sakit juga kayak Ndi“ Andi berkata panjang. Ah, anak itu memang pandai bicara.
Wirda terdiam menatap Andi dan suaminya. Suaminya hanya menatap Wirda, memohon lewat matanya. Dia tidak semarah tadi. Wirda masih diam. Kali ini, putranyalah yang meminta. Wirda menimbang dalam hati, ditatapnya suaminya yang masih menatapnya. Suaminya membelai rambut Wirda, dan mengecup keningnya pelan. Dia tahu, Wirda tidak akan bisa menolak permintaan anaknya.
“Nda, kayaknya banyak yang mesti kita omongin nanti. Maafin Aa’ ya?” pinta suaminya, menyesal juga dia bisa sekeras tadi pada istrinya. Dia menurunkan Andi. Dia harus segera berangkat. “Nanti, aku telpon Bu Artika, kasih tahu aja nomernya ke Aa’,” lanjut suaminya.
“Nda juga punya banyak yang mau diomongin, Aa’ jangan pulang terlalu malam. Nda dirumah hari ini, Bu Artika biar Nda aja yang telpon” Wirda juga berkata pelan. Entah mengapa, hatinya tak sekeras tadi. Sambil menggandeng Andi, Wirda mengikuti langkah suaminya ke ruang depan.
“Yaaa…Abi gak jadi makan bubul sama Ndi, ya?” Andi protes melihat Abi-nya mengambil tas.
“Insya Alloh besok ya, sekarang sama Umi aja. Abi harus berangkat pagi, “ suami Wirda memasang arloji.
“Iya deh, “ Andi menurut seraya meraih tangan Abi-nya. Diciumnya tangan itu. Setelah mengucapkan salam, suami Wirda berangkat diiringi tatapan mata Wirda dan lambaian tangan Andi. Wirda menatap punggung suaminya hingga hilang dari pandangan.
Kali ini, Wirda mengalah pada putranya bukan suaminya. Putranyalah yang memutuskan siapa yang harus di rumah hari ini. Hampir saja keributan terjadi karena Andi, tapi Andi pulalah yang menyelesaikannya. Wirda akan punya banyak hal yang akan dibicarakan dengan suaminya nanti malam, mungkin sampai pagi pun belum akan selesai. Tapi, Wirda juga tidak tahu, apakah besok dia akan berangkat kerja atau tidak.

“Dan setiap pemimpin akan dimintakan tanggung jawabnya ”
-fitri 030505-
posted by fsusanti @ Friday, May 13, 2005  
1 Comments:
  • At May 13, 2005 2:46 PM, Blogger fsusanti said…

    Assalamu'alaikum

    Fitri, kamu masih remaja ya?
    Gak tahu tp saya menangkap di opening cerpen, terkesan Wirda itu seorang
    remaja. Tapi tahu2 ada Andi, udah punya anak rupanya. Saya gak tahu apa yang
    membuat kesan itu, padahal lead hanya bbrp kalimat. Mungkin pilihan katanya?

    Di awal tokoh Wirda ini pengertian sekali. Jadi saya melihat ketika konflik
    masuk, agak gak pas. Lainnya konflik kurang tajam, dan selesai begitu mudah.
    masalah yang diangkat pun biasa. cukup banyak dialog yang tidak perlu,
    sekadar jawaban2 singkat. mungkin bisa diseleksi lagi. karena sebetulnya
    adegan, narasi, mana yang mesti dideskripsikan, tokoh, karakter, bahkan kata
    (yang terakhir saya juga belum canggih, hehehe) dalam cerpen, semuanya
    harusnya terpilih. gak apa nulis nulis dulu, setelahnya kita melakukan
    sortir hal2 yang gak ngaruh bisa dibuang nantinya.

    anyway, selamat karena kamu sudah menyelesaikan sebuah cerpen. bukan perkara
    mudah, buktinya banyak yang memulai nulis, tp tidak pernah menyelesaikannya.

    tetap semangat ya?

    wass

    Asma Nadia

     
Post a Comment
<< Home
 
 
website metrics
about me
My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Just an Ordinary Women, who still trying reaching her dreams.

Yang Baru-baru
Archives
Shout Box
Links
Friendz of Mine
Kelas Menulis
  • Kelas Menulis-Hasyim
  • Kelas Menulis-Jonru
  • Kelas Menulis-Anung
  • Kelas Menulis-Awi
  • Kelas Menulis-Hanok/Iyas
  • Kelas Menulis-Leni
  • Kelas Menulis-Lily
  • Kelas Menulis-Maya
  • Kelas Menulis-Meu
  • Kelas Menulis-Ning Harmanto
  • Kelas Menulis-Rina
  • Kelas Menulis-Sya
  • Kelas Menulis-Tati
  • Kelas Menulis-Tina
  • Kelas Menulis-Yuyun
  • THANK YOU FOR VISITING THIS WEBSITE. BE A GOOD MOSLEM WHEREVER and WHENEVER YOU ARE

    Subscribe to PermataCimanggis
    Powered by groups.yahoo.com

    Powered by 

Blogger

    Template by
    Free Blogger Templates
    © SANTI